Adolf
Hitler dalam bukunya “Mein Kampf” (Perjuanganku) yang ditulis tahun
1920-an telah menunjukkan obsesinya untuk memperluas wilayah Jerman.
Maksudnya tak lain untuk menjamin kehidupan bangsa dan negaranya di bumi
ini. “Untuk itu kami pertama-tama tak pernah lepas untuk berpikir
tentang Rusia dan negara-negara perbatasannya,” kata Hitler.
Kekayaan
alam termasuk hasil pertanian Rusialah yang menjadi magnet bagi
pemimpin Nazi tersebut. Dorongan juga muncul oleh pandangannya yang
merendahkan derajat bangsa-bangsa Slav serta ideologi Bolsewisme Rusia
yang dianggapnya merupakan ‘persekongkolan Yahudi’. Karena itu dunia
sangat heran dan seakan tak percaya ketika Jerman dan Rusia pada tanggal
22 Agustus 1939, 10 hari menjelang pecahnya Perang Dunia II,
menandatangani pakta non-agresi!
Benar,
rupanya itu merupakan strategi Hitler untuk mengamankan pintu
belakangnya lebih dulu ketika dia sibuk menyerbu ke Barat, menggulung
Prancis, Belanda, Belgia, dan lain-lainnya. Nanti setelah front Barat
dikuasainya, barulah dia berpaling ke Timur. Dalam bulan Juli tahun
1940, pemimpin Nazi itu memerintahkan para jenderalnya mempersiapkan
rencana invasi ke Timur (Rusia). Banyak jenderal Jerman yang keberatan.
Mereka mengingatkan pengalaman pahit pada Perang Dunia Pertama ketika
Jerman harus menghadapi dua front sekaligus dan akhirnya kalah.
Tetapi
Hitler tetap ngotot dan menegaskan bahwa Jerman tidak boleh menunggu
sampai Rusia menjadi kuat. Ia meyakinkan para jenderalnya, Rusia yang
sedang lemah itu pasti dapat segera dibereskan dalam tempo delapan
hingga sepuluh minggu saja. “Cukup dengan menendang pintunya saja, dan
seluruh bangunan yang telah lapuk itu akan ambruk,” kata Hitler kepada
para jenderalnya yang masih ragu.
Karena
itu kegiatan menyusun rencana invasi terus dilakukan, dan hasilnya
berupa suatu operasi militer raksasa yang diberi nama “Barbarossa” atau Janggut Merah,
nama julukan bagi kaisar Jerman Friedrich I yang meninggal dalam Perang
Salib abad ke-12. tanggal dilancarkannya operasi penyerbuan ke Rusia
pun ditetapkan, yaitu musim semi menjelang musim panas.
Ketika
staf perencanaan operasi ini membeberkan peta Rusia, jago perang tank
Jerman Generaloberst Heinz Guderian pun terbelalak matanya dan tak dapat
menyembunyikan kekecewaan serta kecemasannya. Ia tersadar akan
keraksasaan tanah Rusia. Tetapi bagi seorang militer, perintah adalah
perintah, titik! Begitu yakinnya para perencana bahwa operasi
melumpuhkan Rusia hanya perlu waktu pendek dan sebagian besar pasukan
Jerman sudah dapat ditarik kembali sebelum musim dingin tiba, sehingga
mereka pun tidak begitu menyiapkan peralatan untuk musim dingin,
termasuk pakaian khusus bagi pasukannya!
“Kemenangan
kilat di front Barat telah mengakibatkan para perencana menghapuskan
kata ‘tidak mungkin’ dalam kamus mereka,” kata Guderian.
Sementara
itu dalam perkembangan lain, diktator Fasis Italia Benito Mussolini
ingin menunjukkan dirinya tak kalah hebat dari Hitler. Pada tanggal 28
Oktober 1940, dia memerintahkan pasukannya menyerbu Yunani dari Albania
yang telah didudukinya. Tetapi petualangannya ini gagal secara
memalukan. Pasukan Italia dipukul balik oleh Yunani, bahkan terancam
terusir dari Albania!
Tetapi
Hitler tak mau membiarkan sekutunya ini kehilangan muka, sehingga dia
terpaksa turun tangan menyerang Yunani dan juga Yugoslavia. Akibatnya,
Operasi Barbarossa yang sedianya dimulai pada bulan Mei terpaksa
ditunda, karena sebagian kekuatan Jerman dialihkan untuk medan perang
baru yang tadinya tak masuk dalam rencana.
Barbarossa
baru dapat dilancarkan pada musim panas, tanggal 22 Juni 1941, dan ini
berarti jaraknya makin dekat dengan musim dingin Rusia yang terkenal
ganas, yang dalam sejarah pernah berperan besar menggagalkan ambisi
Kaisar Napoleon dari Prancis untuk merebut Moskow pada tahun 1812!
Kini sejarah terulang lagi, Jenderal Musim Dingin (Winter General) di Rusia akan menjadi bencana bagi tentara Jerman (Wehrmacht) yang terkenal tangguh itu!
Kini kita meloncat dulu ke tanggal 5 Desember 1941...
Di
hari yang amat dingin itu, Otto Schiele, seorang prajurit dari Kompi 4,
Batalyon 3, Divisi Infanteri ke-31 Jerman merogoh sakunya, mengeluarkan
selembar kertas koran yang sudah usang, terbitan beberapa bulan
sebelumnya. Dari koran Volkischer Beobachter itu ia sekilas membaca judul berita utamanya, pidato Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels, “Kampf bis zum letzten mann und der letzen kugel... bertempur sampai orang terakhir dan peluru terakhir!”
Tetapi
prajurit muda ini tidak berniat membaca koran bekas itu. Ia malah
merobeknya dengan hati-hati, membentuk selembar kertas. Kemudian dari
saku yang lain, ia mengeluarkan sekantung kecil tembakau, menjumput
sedikit isinya lalu menggulungnya di kertas menjadi rokok.
Ketika
Schiele sedang menikmati rokoknya, hawa dingin yang menggigilkan
tiba-tiba masuk menyerbu ruang pondoknya. Rupanya pintu dibuka dan
seorang serdadu bertopi baja dan memakai mantel tebal masuk. Pada
overcoatnya bertaburan salju yang telah membeku menjadi bunga es. Dari
bibir pucatnya yang bergetar, serdadu itu mendesis, “Scheisse, malam ini udara pasti lebih membeku,”
Seorang
prajurit lain yang bernama Wallner bersiap-siap menggantikan berjaga di
luar. Ia memakai pakaian hangat dan kaus kaki rangkap-rangkap. Sebelum
keluar pintu ia meraih senjatanya seraya mengingatkan agar makan paginya
disiapkan, termasuk kopinya. Ia keluar, menghilang di kegelapan malam
yang teramat dingin, dengan suhu tercatat 42 derajat celcius di bawah
nol! Ketika ditemukan esok paginya, tubuh Wallner telah membeku kaku
seperti papan. Dia mungkin tidak menderita terlalu lama, jatuh tertidur
lalu membeku sampai mati...
Dapatlah
dikatakan bahwa tanggal 5 Desember 1941 akan tercatat dalam sejarah
peperangan modern sebagai Hari Pengorbanan Tentara Infanteri Jerman.
Hari itu, Divisi ke-31 menunjukkan keperwiraan yang luar biasa, jatuh
bangun dan berusaha terus mencapai sasarannya, kota Moskow. Namun
perubahan cuacalah yang akhirnya menentukan jalannya peristiwa sejarah.
Malam itu, dalam cuaca bulan purnama yang menerangi permukaan bumi yang
serba putih, suhu terus melorot turun menjadi minus 46 derajat celcius!
Dalam
kesunyian membeku itu, lamat-lamat terdengar deru mesin dipanaskan.
“Ooh, itu tank-tank Rusia, bukan punya kita,” kata seorang Kopral yang
telinganya telah terlatih. Masa penantian yang mencekam pasukan Jerman
yang berada di garis terdepan yang telah mendekati ibukota Rusia
akhirnya berakhir, dengan perintah untuk maju menyerang. “Auf marsch-marsch!
Maju!” teriak para Sersan kepada satuan masing-masing. Apa pun yang
bakal mereka segera hadapi, bagi semua prajurit Jerman adalah lebih
menggembirakan daripada harus bertahan dan mati membeku dalam
kedinginan!
Dengan
nafas terengah, mereka pun maju melawan lapisan salju yang telah
mencapai pinggang. Tenaga terkuras untuk setiap langkah. Nafas hangat
yang keluar dari mulut mereka serta-merta membeku begitu dihembuskan!
Mereka jatuh bangun, terperosok di salju, dan Sersan-Sersan tak henti
berteriak menyemangati para prajuritnya, sampai tiba-tiba hujan tembakan
musuh menyirami mereka. Banyak yang langsung terkapar di lapisan salju,
dan merahnya darah mulai mewarnai bumi yang putih bersih. Mereka yang
terjatuh, hanya dalam hitungan menit tubuhnya langsung kaku membeku!
Para
prajurit Jerman tak mempunyai pilihan lain. Mereka berusaha maju terus.
Tetapi banyak senjata mereka yang macet, beku, karena memang tak pernah
dipersiapkan secara khusus menghadapi peperangan melawan Winter General.
Sangat berbeda dengan Pasukan Merah yang kualitas pakaian dan sepatu
hangatnya jauh melebihi pasukan Jerman, sementara persenjataannya pun
telah disesuaikan untuk anti-beku.
Medan
perang di muka kota Moskow menyaksikan pertempuran hidup-mati yang
dahsyat. Semangat para pasukan Jerman yang memilih lebih baik mati
bertempur daripada membeku di padang salju membuat mereka seperti
banteng terluka yang mengamuk!
Pagi
harinya, langit kelam yang menggelayut telah sirna, seperti layar dalam
drama Yunani yang terbuka pelan-pelan. Pertempuran hebat terus
berlanjut, kematian demi kematian terus menumpuk, dan tatkala semua
peralatan modern telah macet, maka tinggallah semangat bertahan hidup
pada masing-masing prajurit yang membuat drama ini belum habis.
Semangat
hidup itulah yang akhirnya membuat pasukan Divisi ke-31 Jerman berhasil
memecahkan garis pertahanan Rusia, dan mereka kini tinggal delapan
kilometer dari sasaran mereka. Namun, sesudah itu kemudian semuanya
tiba-tiba selesai. Mereka tidak mampu bergerak lagi.
Drama
di muka kota Moskow itu tidak lain merupakan salah satu akibat dari
ambisi gila Hitler, yang pada akhirnya ikut menyumbang titik balik dari
kemenangan Jerman Nazi menjadi kekalahannya.
Ambisi Hitler yang mula-mula tertuang dalam ‘kitab sucinya’ Nazi, Mein Kampf,
kemudian dijabarkannya dalam arahan resmi, Führer Befehl no.21 yang
dibuatnya pada tanggal 18 Desember 1940 (ketika masih dalam ikatan Pakta
Non-Agresi dengan Rusia). Direktif itu menggariskan bahwa tentara Rusia
yang ditempatkan di Rusia bagian Barat harus dihancurkan dengan operasi
kilat yang diujungtombaki oleh kekuatan lapis baja. Selanjutnya usaha
pengunduran diri secara teratur dari musuh ke wilayah luas di pedalaman
Rusia harus dicegah.
Operasi
Barbarossa yang dilaksanakan dan digelar secara mendadak ini memang
telah diraba oleh pihak Soviet. Namun mereka tidak pernah memperkirakan
bahwa datangnya akan secepat itu. Diktator Soviet Josef Stalin tidak mau
mempercayai laporan serta peringatan dari jaringan mata-matanya,
termasuk Dr. Richard Sorge, spion paling dahsyat di dunia, yang
memperoleh bocoran rahasia Barbarossa di Tokyo. Sorge juga berjasa
terhadap Stalin karena meyakinkan bahwa Jepang tidak akan menyerang
Rusia sehingga Stalin tak perlu menghadapi dua front.
Ketidakpercayaan
Stalin akan serbuan Jerman itu pun masih terjadi bahkan ketika
Wehrmacht telah menyeberangi perbatasan dan menghantam pasukan garis
depan Rusia! Melalui Marsekal Timoshenko, dia sempat memerintahkan
panglima Rusia di front depan, Jenderal Boldin, agar tidak melakukan
aksi apapun terhadap pasukan Jerman. Semua aksi militer harus
sepengetahuan dan seizin Stalin sendiri! Boldin menjawab bahwa perintah
itu tidak mungkin dijalankan karena “tentara kami terus terdesak mundur,
kota-kota dibakar, dimana-mana orang dibunuh”. Namun jawaban dari
Moskow ternyata tetap menegaskan bahwa perintah Stalin itu harus tetap
dilaksanakan, titik!
Dalam
kondisi yang serba bingung di pihak musuh ini, maka mesin perang Jerman
pun menggelinding dengan cepat ke sasaran-sasarannya. Apalagi ketika
itu musim panas, sehingga walau jalan-jalan di Rusia berbeda dengan
jalan-jalan di front barat yang mulus, lebar dan modern, tapi tank-tank
Jerman tetap dapat melewatinya dengan baik.
Jalan-jalan
tanah Rusia dengan debunya yang tebal dan halus memang mengganggu,
namun belum menjadi rintangan besar, kecuali harus lebih rajin
membersihkan mesin kendaraan perang yang dirongrong debu. Namun untuk
pasukan infanteri, cuaca terasa amat panas dan cukup menyiksa bagi yang
tidak terbiasa. Apalagi, mereka harus selalu menghirup debu dan
kehausan!
Operasi
Barbarossa ini dilakukan dengan terobosan oleh tiga grup tentara,
masing-masing Utara, Tengah dan Selatan. Grup Utara pimpinan
Generalfeldmarschall Wilhelm Ritter von Leeb menyerbu dari Prusia Timur
dengan sasaran Leningrad (St. Petersburg). Grup Tengah di bawah komando
Generalfeldmarschall Fedor von Bock dari Polandia melalui hamparan
rawa-rawa luas Pripyat menuju Smolensk untuk kemudian ke Moskow.
Sedangkan grup Selatan yang dipimpin oleh Generalfeldmarschall Gerd von
Rundstedt bergerak ke arah Kiev dengan tujuan menguasai wilayah gudang
pangan (gandum) di Ukraina serta sumber minyak bumi di Kaukasus.
Tentara
Rusia yang tidak menyangka dan tidak siap menghadapi Barbarossa, dengan
cepat digilas oleh mesin perang Jerman. Dalam beberapa bulan pertama
invasi itu, hampir tiga juta pasukan Rusia ditawan serta 17.000 tanknya
dihancurkan! Stalin memang memiliki lebih banyak tank, pesawat terbang,
dan sumber daya manusia, tentara, tetapi kekuatan tersebut pada awal
perang terpencar dalam wilayah yang begitu luas, dari Siberia, Mongolia
Luar, hingga perbatasan Polandia. Banyak pimpinan tentara merah yang
berotak cemerlang juga telah dilenyapkan dalam aksi pembersihan
besar-besaran (the Great Purge) tahun 1937!
Tetapi
dinamika invasi Jerman dengan garis front yang sangat panjang dan
melebar itu, kemudian terbukti hanya mampu bertahan sekitar lima bulan
saja.
Hitler
dari awal membuat kesalahan besar dengan memandang rendah keuletan dan
kemampuan perlawanan pihak Soviet, serta melupakan bahwa ukuran-ukuran
geografis di Rusia adalah serba luar biasa besaran luas dan jaraknya.
Belum lagi prasarana dan sarananya yang kala itu masih terbelakang,
sehingga kurang mendukung operasi peralatan perang yang mekanis, modern,
dan mobil. Akibatnya pengiriman logistik ke pasukan-pasukan terdepan
semakin sulit, baik karena jarak maupun gangguan dari para partisan
(gerilya) Rusia.
Sekalipun
demikian, sampai pertengahan Juli sekitar dua pertiga jarak tempuh ke
Moskow telah dicapai oleh pasukan lapis baja Jerman yang dipimpin oleh
jenderal-jenderal yang telah kenyang makan asam garam peperangan seperti
Guderian, Hoepner dan Hoth. Namun pada tanggal 19 Juli, Hitler
mengeluarkan lagi direktifnya, Führer Befehl No.33, yang segera terbukti
menjadi blunder terbesarnya dengan akibat sangat fatal!
Hitler
yang tertarik untuk memperoleh kemenangan spektakuler dengan menawan
pasukan musuh dalam jumlah besar, mendadak memerintahkan gerak maju
pasukannya ke arah Moskow dihentikan sementara! Ia menarik pasukan baja
Hoth ke utara, untuk membantu pengepungan terhadap Leningrad. Sedangkan
pasukan tank Guderian diperintahkannya ke selatan untuk ikut mengepung
sejumlah besar pasukan Rusia di Kiev.
Keputusan
Hitler yang cenderung politis dan bukannya berdasar pertimbangan
militer sepenuhnya ini, bukannya tanpa tentangan dari para jenderalnya,
termasuk Guderian sendiri. Mereka lebih menghendaki gerak maju ke Moskow
diteruskan, karena bagaimanapun kota ini adalah pusat dan simbol
kekuasaan dari pemerintahan komunis Uni Soviet.
Para
jenderal itu juga sebetulnya khawatir akan datangnya musim dingin
sebelum mereka berhasil merebut Moskow. Namun Hitler tidak peduli!
“Baginya, tingginya angka tawanan perang musuh merupakan bukti konklusif
superioritas Jerman,” tulis Kepala Staf Generaloberst Franz Halder
dalam catatan hariannya.
Dengan
keputusannya yang tidak dapat ditawar demi memetik kemenangan
spektakuler namun kurang berarti dari segi militer itu, maka Hitler
telah mengesampingkan tiga faktor vital yang dalam sejarah telah
terbukti menjungkalkan Napoleon di Rusia. Ketiganya adalah : ruang,
waktu, dan cuaca. Dan hal ini pun segera akan terbukti. Sekaligus ini
juga berarti Hitler sendiri telah mengorbankan tujuan akhir Operasi
Barbarossa, yaitu serangan terpadu tiga pasukan lapis baja terhadap
Moskow. Jerman pun kehilangan waktu yang tak ternilai harganya selama
empat minggu dalam geraknya ke Moskow. Kehilangan waktu inilah yang
harus dibayar mahal sekali...
Baru
pada tanggal 2 Oktober Hitler memerintahkan penyerangan dan perebutan
Moskow dimulai kembali. Tanggal itu ironis sekali, karena mengingatkan
pada sekitar awal bulan Oktober tahun 1812 dimana Napoleon memerintahkan
bala tentaranya mundur dari Moskow karena dia khawatir akan datangnya
musim dingin Rusia yang terkenal ganas. Sekarang, apa yang tadinya
optimis dapat dilakukan dalam bulan Juli-Agustus yang kering, kini
menjadi keraguan karena hujan akan segera tiba. Dan ini artinya
jalan-jalan di Rusia yang primitif akan menjadi sungai lumpur yang sulit
dilalui oleh kendaraan maupun manusia!
Sesuai
perintah dari Hitler, maka subuh tanggal 2 Oktober tank-tank Jerman
telah memanaskan mesinnya. “Sersan, dalam sebulan lagi kita akan
menikmati sarapan yang enak dengan kaviar di Lapangan Merah, ya kan,”
tanya seorang pengemudi tank yang masih muda kepada seniornya itu. Si
Sersan hanya mengangkat bahunya seraya membatin : ah, anak muda...
apakah engkau tidak tahu yang sebenarnya?
Komandan satuan tank itu, Hauptmann Detlef von Wagenburg mengusap matanya yang letih dan sekali lagi melihat arlojinya. “Erste Kompanie, siap?” tanyanya. “Zweite kompanie...?”
Begitu para komandan kompi tanknya menjawab siap, maka derum mesin
ratusan tank tiba-tiba menggemuruh dibarengi dengan dentuman-dentuman
dari semua laras meriamnya. Bumi sekitarnya seolah meledak, bergetar
hebat. Derak rantai dan roda-roda tank yang bergerak maju menambah
hingar-bingar pagi yang dingin. Ketiga pasukan panzer Jerman bergerak
serentak ke arah Timur, melindas dan menghancurkan apa saja yang
menghalangi.
Bulan
Oktober merupakan musim gugur. Cuaca mulai berubah dari panas dan
kering menjadi kian dingin dan basah. Serbuan ulang Jerman ke arah
Moskow benar-benar tidak terbendung. Dengan cepat garis-garis pertahanan
Rusia digulung. Tetapi mereka semakin ulet dan semakin fanatik.
Tank
Von Wagenburg termasuk yang paling depan karena tugas satuannya adalah
membungkam artileri musuh. Setelah melalui sebuah desa yang terbakar,
tank-tank Wagenburg tiba-tiba dihadang sejumlah tank Rusia yang dipenuhi
oleh prajurit infanteri. Sebuah tembakan tank Jerman tepat mengenai
salah satu tank Rusia itu, yang langsung meledak dan melontarkan para
prajurit yang bertengger di atasnya!
Tembakan
anti-tank dari pasukan Rusia juga tak kalah sengit. Dari kubu-kubu
mereka di balik hutan, tembakan mereka berhasil menghancurkan sejumlah
tank Jerman. Teriak dan jeritan manusia bersaing dengan letusan dan
ledakan peluru. Pasukan Rusia seolah-olah tidak takut mati dan melawan
terus sampai darah terakhir. Namun disana-sini timbul juga kepanikan di
kalangan tentara Merah itu, sehingga ada yang melarikan diri dari
posisinya.
Mereka
yang ketahuan lari, tak ada ampun akan ditembak oleh satuan polisi
khusus Rusia, NKVD, yang terkenal kejam. Mereka ini berkeliaran mencari
para desertir.
Jenderal
G.V. Balushin, salah seorang komandan pasukan terdepan Rusia yang baru
saja menerima bintang jasa karena perlawanannya yang heroik melawan
Jerman di Smolensk, tak luput dari hukum besi NKVD. Tanggal 5 Oktober
daerah pertahanannya dikepung pasukan tank Jerman yang tiba-tiba muncul.
Pertempuran hebat pecah, dan pasukan Jerman berada di atas angin. Untuk
mencegah penghancuran pasukannya secara sia-sia, Balushin memerintahkan
pengunduran taktis. Namun keputusan ini rupanya dianggap sebagai
perbuatan pengecut. Mobil jenderal ini dihentikan oleh sekelompok NKVD,
dan seorang kapten NKVD menyatakan bahwa atas perintah Komite Pertahanan
Moskow, Balushin dicopot pangkat dan jabatannya!
“Gregori
Balushin, dengan ini kamu dijatuhi hukuman mati karena kepengecutan di
hadapan lawan. Hukuman akan dilaksanakan segera,” kata kapten itu. Oh,
betapa hidup ini, kemarin pahlawan, hari ini dicap pengkhianat! Balushin
kemudian meminta izin merokok, dan dia diberi sebatang. Dia diberi
rokok karena si kapten tahu bahwa Balushin adalah pahlawan dan namanya
sudah kadung harum di mata rakyat Rusia. Jenderal ini hanya menghisap
rokoknya sekali, lalu membuangnya. Ia kemudian digandeng pergi ke balik
jalan, dan tak lama kemudian terdengarlah letusan tembakan. Duut...
Eh... dorr!!!
Gerak
maju mesin perang Jerman seperti tak terbendung. Ratusan ribu pasukan
dan ribuan tank serta kendaraan perang Rusia lainnya yang menjadi bagian
dari perimeter luar pertahanan Moskow terkepung atau hancur. Stalin
yang mencemaskan kondisi itu, pada tanggal 11 Oktober mengangkat
jenderal Gheorgi Zhukov sebagai Panglima Pertahanan Moskow. Zhukov
segera meminta disediakan 100 divisi segar serta ratusan tank baru,
T-34, yang terbukti lebih mumpuni dibandingkan dengan tank Jerman pada
saat itu.
Stalin
yang sementara itu baru mendapat laporan dari spionnya di Tokyo,
Richard Sorge, bahwa Jepang tidak akan menyerang Rusia, segera menarik
kekuatan tentaranya dari Timur dan Siberia. Setiap hari 50 hingga 100
kereta api berangkat dari Timur dengan tujuan Moskow, berisi penuh
serdadu dan perlengkapan perang lainnya.
Pada
tanggal 12 Oktober, apa yang ditakutkan Jerman terjadilah! Cuaca
berubah drastis. Hujan sejak hari itu mulai turun dimana-mana dan
seperti tak ada hentinya. Dari Smolensk hingga Orel, dari Viazma hingga
Kalinin. Hujan dan hujan terus. Sungai-sungai bergolak dan meluap,
jalan-jalan menjadi lumpur yang pekat sampai setinggi lutut. Kendaraan
bermotor Jerman pun nyungsep terjebak lumpur, kuda tak mampu menarik
kereta, dan bagi prajurit infanteri, setiap langkah menjadi perjuangan
tersendiri yang berat. Demikianlah, “Jenderal Lumpur” Rusia mulai
beraksi, belum lagi “Jenderal Musim Dingin” nantinya!
Sekalipun
menghadapi medan lumpur yang berat, pasukan Jerman tetap berusaha
bergerak ke timur. Sampai akhirnya pada tanggal 19 Oktober, tentara
Jerman terpaksa berhenti! Panglima sektor tengah, Jenderal Hans-Günther
von Kluge mengirim kawat ke markas besar Jerman yang isinya : “harus
menunggu sampai musim beku yang akan mengeraskan jalan sehingga panzer
dapat bergerak lagi.”
Mendengar
itu, murkalah Hitler! Ia hanya melihat bahwa jarak ke Moskow tinggal
beberapa hari lagi, mengapa kini harus berhenti? Ia pun memerintahkan :
jalan terus! Maka Divisi Lapis Baja ke-3 bersama Divisi Infanteri ke-258
ditugaskan untuk menyusup ke arah barat daya Moskow melalui jalan yang
masih dapat menopang mereka.
Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung dengan sengitnya. Pelopor perang kilat, Blitzkrieg,
Generaloberst Heinz Guderian, mulai patah semangat akibat lumpur,
lumpur dan lumpur. Pasokan logistiknya, baik peluru, bahan bakar, maupun
keperluan lainnya tertinggal 50 km di belakang pasukan tanknya, dan
tidak dapat dikirim karena transportasinya jeblok akibat lautan lumpur. “Ja, main Führer,
Kami membaca buku pengalaman Napoleon, tetapi tuan segan dan tidak mau
mendengar peringatan kami mengenai cuaca Rusia,” demikian keluh para
Jenderal di front.
Pada
minggu kedua bulan November, “Jenderal Musim Dingin” pun akhirnya tiba
dengan seluruh kekuatannya! Tanggal 12 November 1941 itu suhu sontak
merosot menjadi minus 15 derajat, dan esok harinya minus 20 derajat
celcius!
Tanggal
13 November, Kepala Staf Hitler, Generaloberst Franz Halder, mengundang
para petinggi militer Jerman. Dia menjelaskan rencana Hitler untuk
melancarkan serbuan final ke Moskow. Namun para jenderal kurang antusias
menanggapinya, karena mereka tahu nasib baik Jerman sebenarnya telah
tercuri dengan blunder Hitler tatkala dia menyetop sementara serbuan ke
Moskow pada musim panas yang lalu. Tetapi segala keberatan tidak
didengar. Hitler tetap menghendaki tanggal 15 November sebagai awal
serbuan final merebut Moskow.
Namun
unsur pendadakan serangan sebenarnya telah hilang, dan perlawanan
semakin tangguh dari Tentara Merah dapat dipastikan akan terjadi. Lebih
dari 80 divisi segar dari Siberia telah didatangkan, sementara pasukan
Jerman yang semakin menipis jumlahnya, telah keletihan karena bertempur
konstan selama enam bulan terus menerus.
Malam
itu para prajurit tank Jerman pun harus membuat api di bawah tank
masing-masing, agar piston mesinnya tidak membeku! “Apa sasaran kita
besok, herr Leutnant?” tanya seorang prajurit kepada perwiranya. Si perwira rupanya ingin membangkitkan semangat anak buahnya. “Der Rote Platz, Lapangan Merah dan ruang makan Stalin,” kata si perwira itu tanpa dapat menyembunyikan kemuramannya.
Pagi
tanggal 15 November di sepanjang front yang panjangnya 1000 km,
tank-tank Jerman yang disertai infanterinya bergerak. Tetapi kini tidak
semua tank berhasil dihidupkan, sebagian membeku mesinnya! Skuadron tank
Von Wagenburg yang terdiri dari 12 buah tank Panzerkampfwagen IV
langsung menuju tepi sungai Nara, untuk selanjutnya ke Podolsk yang
terletak hanya 34 km dari pusat kota Moskow. “Maju terus, tembak terus!”
aba-abanya ketika melihat jembatan ternyata masih utuh. Jembatan ini
berhasil dikuasainya dan komandan divisi memerintahkannya untuk
mempertahankannya mati-matian.
Sementara
itu ratusan ribu prajurit Soviet yang masih segar dari Siberia dengan
pakaian musim dingin yang berwarna kamuflase putih, mulai menyiapkan
diri di sekitar Moskow. Tank-tank baru T-34 berwarna putih dalam jumlah
besar pun mulai dikirim ke front. Sementara itu, pasukan Divisi
Infanteri ke-258 Jerman yang bersama Divisi Lapis Baja ke-3 berada di
barat daya Moskow, telah sampai ke Burzeto, 55 km dari Moskow.
Tak
mereka sangka, tiba-tiba sepasukan tank T-34 Rusia datang menyerang,
menyeberangi padang salju seraya menembaki posisi Jerman dengan gencar.
Senjata anti-tank Jerman pun beraksi. Namun alangkah kagetnya mereka
ketika melihat pelurunya tak mempan menembus lapisan baja monster baru
Rusia itu!
Namun
pasukan Jerman terus menekan. Tanggal 27 November mereka berhasil
mencapai kanal sungai Volga, lalu merebut Gorki, 20 km dari Moskow.
Bahkan pada tanggal 30 November, dalam kondisi hujan salju, Divisi
Panzer ke-2 mampu mencapai Chimki, hanya delapan kilometer dari
pinggiran kota Moskow. Sebuah patroli Batalyon Perintis malah mampu
menyusup ke sebuah stasiun bis kota, 17 km saja dari Kremlin!
Satuan
perintis Jerman yang sudah mendekati Kremlin itu sempat berkelakar
bahwa mereka tinggal menunggu bis kota yang akan membawa mereka ke
Kremlin. Namun bis itu tidak pernah datang. Yang datang adalah sesuatu
yang lain, yaitu topan salju yang seperti es dinginnya. Tak ada tempat
berlindung di tempat tersebut. Semua bangunan, bahkan pohon-pohon, sudah
rata dengan tanah. Keesokan harinya, yang tampak tinggal
gundukan-gundukan salju dan di bawahnya adalah tubuh para prajurit yang
naas tadi. Mereka mati beku karena suhu pada malam sebelumnya mencapai
52 derajat di bawah nol!
Tapi
Jerman belum mau menyerah oleh kondisi alam yang merintanginya.
Pengintaian yang dilakukannya dari udara menunjukkan kota Tula di luar
Moskow tampaknya masih utuh.
Tanggal
4 Desember pasukan Divisi Infanteri ke-31 diperintahkan untuk menguasai
Tula, yang oleh Jerman akan dijadikan markas musim dingin. Namun
perintah ini terlambat dua hari. Seandainya datang terlebih dahulu, maka
pasukan tank dapat membantu sebagai ujung tombak karena jalan ke Tula
masih beku oleh es dan dapat dilintasi. Namun dalam dua hari terakhir
hujan salju turun dengan hebat, mengakibatkan lapisan salju yang teramat
tebal untuk dapat dilalui pasukan mekanis Jerman. Akibatnya pasukan
infanteri harus berjalan sendiri tanpa perlindungan. Itu pun kalau
mereka mampu berjalan menembus lapisan salju yang dalam!
Akibatnya,
selain gerakan lamban sekali ditambah masih harus menangkis serangan
musuh, mereka pun harus menghadapi bahaya yang mengerikan, yaitu
pembusukan anggota tubuh karena frostbite dan gangrene.
Para dokter pasukan tak henti-hentinya harus mengamputasi jari, baik
kaki maupun tangan. Kalau tidak, akibatnya akan sangat fatal bagi si
penderita.
Tanggal
4 Desember keluar perintah untuk menyerang Tula mulai pukul 01.00 pagi
dengan memanfaatkan cahaya rembulan. Para prajurit Jerman tampaknya
telah kehabisan tenaga karena terkuras untuk melawan dinginnya cuaca
yang menusuk dan mematikan itu. Sehingga tatkala perintah telah tiba
untuk menyerang, mereka pun kelihatan lebih bersemangat dan senang.
Mereka merasa lebih baik menghadapi musuh yang mungkin juga berarti
kematian daripada harus mati pelan-pelan karena membeku!
“Kami
mencapai tepi sungai dan menyerang posisi musuh di balik garis
pepohonan. Senapan mesin musuh menyapu kami, dan kami harus mundur
dengan banyak korban. Karena picu senjata kami banyak yang beku dan
macet, maka kami pun mencoba mengulang serangan dengan bayonet,”
demikian kisah seorang prajurit Jerman.
Suhu
waktu itu adalah 40 derajat celcius di bawah nol. Banyak dari yang
luka-luka tidak dapat segera dirawat karena menunggu giliran. Akhirnya
banyak dari mereka yang mati bukan karena lukanya, melainkan oleh udara
yang membekukan!
Akhirnya
pada tanggal 5 Desember menjelang tengah malam, panglima divisi
Generalmajor Berthold memerintahkan pengunduran diri, karena kalau tidak
maka ofensif balasan Rusia akan memotong-motong pasukan divisinya yang
sudah melemah akibat cuaca dan serangan musuh. Setelah unit terakhir
mencapai posisi bertahan yang baru, maka ketahuanlah bahwa divisi yang
pada 24 jam sebelumnya masih berkekuatan penuh, kini menciut tinggal
kurang dari satu batalyon! Mereka yang masih hidup merasa kecewa
seolah-olah telah dilupakan dan ditinggalkan oleh Berlin. Pengorbanan
mereka dianggap sia-sia!
Seperti
telah diperkirakan, maka pada tanggal 6 Desember, Rusia mengerahkan
kekuatannya melancarkan ofensif balasan dari perimeter pertahanannya di
Moskow terhadap semua posisi tentara Grup Tengah Jerman. Ratusan tank
T-34 berwarna putih dan satu juta prajurit Merah yang semuanya juga
berseragam putih bergerak menerobos semua garis Jerman.
Tentara
Jerman yang sudah susah payah mendekati Moskow tidak mampu lagi
melawan. Mereka dipukul mundur, mundur, dan mundur terus makin menjauhi
sasarannya. Mencium kemenangan, pasukan Merah pun semakin ganas
membabati agresornya. Kinilah saat titik balik dan sekaligus pembalasan!
Hauptmann
Von Wagenburg tegak berdiri di turet tanknya yang mogok karena beku dan
ketiadaan bahan bakar. “Hari yang paling terpuji dari Deutsche Wehrmacht,” katanya dengan ironis. “Tinggal 20 km dari Moskow dan kehabisan bensin. Untuk apa semua ini?!”
Ia
seolah-olah tidak mendengar lagi dentuman dan desingan peluru. Sebuah
peluru yang mengenai tanknya, menimbulkan bunyi dentingan yang keras.
Tetapi dia tidak menghiraukannya. Lalu sebutir peluru tepat menembus
dadanya, dan Von Wagenburg pun langsung mati terkulai di atas tanknya.
Tak
jauh darinya, dua sosok tubuh berhimpitan kaku dalam lubang pertahanan.
Si pengendara tank yang muda usia dan sersannya tak akan pernah melihat
Lapangan Merah Moskow. Mereka keburu mati bukan karena tembakan musuh,
tapi akibat beku...
“Serangan ke Moskow telah gagal. Kami mengalami kemunduran hebat,” kata Guderian terus terang.
Tanggal
25 Desember, Hitler mencopot jenderal tanknya yang paling kesohor
tersebut, meskipun sejarah telah menunjukkan bahwa ketika Hitler yang
memegang komando, maka semuanya gagal dan dia mengorbankan begitu banyak
prajurit Jerman untuk tujuan yang sia-sia. Berbeda dengan masa awal
perang ketika para jenderalnya masih diberi wewenang menjalankan
strateginya sendiri. Hasilnya adalah kemenangan demi kemenangan.
Tetapi
di Rusia, semuanya sudah terlanjur, sehingga tak terhitung lagi jumlah
kuburan tentara Jerman yang berserakan di bumi Soviet...
Tentara Jerman melemparkan granat tangan Potato-Smasher dalam fase-fase awal Operasi Barbarossa
Master
Blitzkrieg (serangan kilat) Jerman terkenal, Generaloberst Heinz
Wilhelm Guderian bersama pasukannya. Di belakang terlihat jenderal tank
terkenal lainnya, Generalleutnant Graf Hyazinth Strachwitz von
Gross-Zauche, der Panzergraf!
Tipikal tentara Wehrmacht Jerman, seorang Sersan dengan dekorasi Eiserne Kreuz 1 klasse dan General Assault Badge di dadanya
Pasukan
SS dengan tawanannya, tentara Asia Rusia. Selama Operasi Barbarossa
sendiri, jutaan (!) tentara Rusia tertawan, yang sebagian besar di
antaranya tewas di kamp-kamp tawanan Jerman
Panzerkampfwagen
III yang berasal dari Divisi Panzer ke-8 sedang menyeberangi sungai Bug
di Rusia. Terlihat log-log kayu di belakangnya untuk memudahkan mereka
melewati jalan berlumpur yang mulai banyak didapati selama musim gugur
Rusia yang menyesakkan
Makam
tentara Jerman di dekat Moskow. Kebanyakan makam sederhana semacam ini
pada akhirnya diratakan oleh Rusia sehingga tak terhitung berapa banyak
pasukan Jerman yang terbunuh di front Timur yang tak diketahui kuburnya!
Peta Operasi Barbarossa
0 komentar:
Posting Komentar