Margot, kakak perempuan dari Anne, sudah meninggal lebih dulu sehari
sebelumnya. Anne (15) yang sudah tidak mampu lagi melawan penyakit
tipus, mengikuti jejak sang kakak. Margot dan Anne, putri pasangan Otto
dan Edith Frank, meninggal secara pilu. Tidak ada tangisan keluarga,
alpa dari pelukan sayang orangtua.
Keduanya wafat hanya beberapa pekan sebelum pasukan Sekutu membebaskan
kamp konsentrasi Bergen-Belsen pada Perang Dunia II. Hanya sang ayah
selamat dari gerakan holocaust Nazi Jerman.
Beberapa pekan sesudahnya, seorang teman keluarga memberi buku harian
berwarna merah-putih pada si ayah. Tulisan di dalamnya menghentak.
Bagaimana bisa gadis kecilnya menulis sedemikian dalam mengenai kondisi
kehidupan mereka saat itu?
Ya, keluarga Frank yang tinggal di Amsterdam, Belanda, masuk dalam
daftar incaran Nazi Jerman kala Perang Dunia II. Kondisi yang memaksa
mereka hidup di ruang persembunyian di rumah mereka sendiri selama dua
tahun! Ruang pelindung itu terletak di lantai dua, di belakang rak buku.
"Kapanpun seseorang datang dari luar bersama angin di baju mereka dan
udara dingin pada pipinya, membuat saya berpikir, kapan kami diizinkan
menghirup udara bebas lagi?" tulis Anne dalam buku hariannya, 24
Desember 1943.
Buku inilah yang kemudian melambungkan nama Anne Frank. Dipublikasikan
pertama kali pada tahun 1947 dalam bahasa Belanda. Dan, tepat hari ini,
30 April, pada tahun 1952, catatan harian Anne diterbitkan dalam bahasa
Inggris dengan judul The Diary of a Young Girl.Selanjutnya, buku ini terus diproduksi ke dalam berbagai bahasa, bahkan
naik ke layar lebar. Kediaman keluarga mereka di sisi kanal
Prinsengracht, Amsterdam, dijadikan museum yang hingga kini bisa
dikunjungi para pelancong.
Anne dianggap melambangkan kisah kemanusiaan yang bertahan hidup dari
kebencian terhadap suatu kaum. Namun, ada sebagian pihak yang menganggap
kisah Anne Frank terlalu dilebih-lebihkan. Mengingat masih ada 1,5 juta
anak Yahudi lainnya yang jadi korban holocaust.
Menurut kritikus, harusnya kisah seluruh anak inilah yang didengarkan
dan dirangkum. Sebab dengan demikian, bisa tergambar bagaimana kondisi
sesungguhnya pada Perang Dunia II.
Meski demikian, seperti dikatakan salah satu penulis kebangsaan Italia,
Primo Levi, "Jika kita harus dan dapat berbagi mengenai penderitaan dari
masing-masing mereka (anak-anak Yahudi), kita harusnya tidak bisa
melanjutkan hidup."
0 komentar:
Posting Komentar