Amerika Serikat di Belakang
Kartosoewirjo
Nekolim,
neo kolonialisme dan imperialisme … kolonialisme dan imperialisme wajah
baru, sejatinya sudah dari dulu menjadi musuh bangsa. Bahkan sejak
tahun 60-an, Bung Karno sudah memberi peringatan kepada bangsa ini untuk
senantiasa waspada. Bukan hanya memberi peringatan, lebih dari itu,
Bung Karno juga menunjukkan garis politik nekolim. Karena itu, sebelum
mengajak bangsa ini mewaspadi dan membentengi diri dari bahaya nekolim,
Bung Karno pun memberi rujukannya.
Atas
dasar politik internasional, kata Bung Karno, kita mengetahui garis
politik nekolim melalui “kitab-kitab” mereka, yang terbuka bagi siapa
saja mempelajarinya. Bung Karno menyebut Maurice West dengan “kitab
nekolim” berjudul West The Ambassador, kemudian ada lagi “kitab nekolim” karya Wilfred Buchet The Furtive War. Disebutkan lagi “kitab nekolim” tulisan Andrew Tully C.I.A, Rose The Invisible Government.
Secara
gamblang, kita-kitab nekolim itu menyebutkan bahwa Cina (baca:
komunisme) harus dieliminasi. Caranya begini, begitu, via selatan, via
kanan, via kiri, dan seterusnya. Buku-buku itu memuat secara gamblang
bagaimana strategi politik internasional nekolim. Penjajahan gaya baru
pasca Perang Dunia II.
Dari
sana bangsa ini bisa belajar, mengapa Amerika Serikat begitu membenci
Sukarno. Bagaimana Amerika Serikat tidak menghendaki Sukarno (baca:
Indonesia) berdekat-dekat dengan Cina. Bahkan Revolusi Indonesia di kala
itu disebutnya sebagai the greatest danger spot bagi Nekolim di Asia Tenggara.
Bung
Karno seorang nasionalis. Ia adalah poros tengah bagi dunia. Tidak ke
kiri, tidak ke kanan. Ideologi Pancasila adalah jaminan tegak berdirnya
bangsa dan negara ini. Semua gerakan, tindakan, dan langkah-langkah
politik internasional Bung Karno sangat jelas dan transparan. Tidak mau
didikte Barat, persetan dengan tekanan komunis. Karena itulah, ia
menjadi “sangat berbahaya” di mata Amerika maupun Soviet.
Semua
cara menggulingkan Bung Karno sejatinya sudah terjadi sejak awal negara
ini berdiri. Komunis memproklamasikan diri. Islam memproklamasikan
diri. Anasir Barat juga terus berusaha menancapkan kuku pengaruhnya
melalui elite-elite politik ketika itu.
Dalam
salah satu amanat, Bung Karno bahkan secara terang-terangan melakukan
uit de school klappen, istilah Belanda untuk mengatakan “membuka sebuah
rahasia”. Disebutkan, betapa dulu orang Amerika membenci Indonesia,
terutama Presiden Sukarno. Ia menjadi bulan-bulanan pers Barat. Lebih
dari itu, Bung Karno juga berkali-kali mengalami usah pembunuhan.
Selanjutnya,
ia ungkap surat-surat dari Kartosoewirjo kepada para pengikutnya. “Heb
ik zelf gelezen, hoor (saya baca sendiri, loo…,” kata Bung Karno. Surat
Kartosoewirjo kepada orang-orangnya itu intinya adalah seruan agar terus
berjuang (di bawah panji Negara Islam Indonesia) dengan segala macam
jalan atau cara. Amerikastaat achter ons. Amerika di belakang kita, dan berusahalan agar supaya Sukarno lenyap dari muka bumi.
Bahkan
sebagai presiden, Bung Karno acap menerima surat dari para pengikut
Kartosowirjo. Mereka terang-terangan mengancam untuk membunuhnya. Dan
sejarah pun sudah mencatat tentang usaha pembunuhan terhadap Sukarno,
baik lewat penggranatan di Perguruan Cikini, maupun saat shalat Idul
Adha di masjid istana.
Salah satu surat itu menyebutkan, “Sukarno, Amerika berdiri di belakang kami. Meskipun engkau begitu, woordelijk betul, masukleng semut,
meskipun engkau masuk lubang semut, satu hari kami akan bisa dapatkan
engkau. “Surat-surat itu, saya terima sendiri, saya baca sendiri,”
tandas Bung Karno.
Apa
yang terbeber di atas pada galibnya merupakan lembar sejarah. Menjadi
aktual ketika negeri ini belakangan juga disibukkan dengan isu yang
sama, NII. Satu benang merah yang bisa kita tarik dari bentang sejarah
era 60-an hingga 2011 ini adalah, kekuatan nekolim masih begitu besar.
Mereka terus dan terus berusaha merusak persatuan bangsa. “Indonesia
pecah” adalah target utama nekolim.
Tahapan
ke arah sana sudah berhasil mereka lakukan. Adanya undang-undang
otonomi daerah yang menimbulkan sentimen kedaerahan semakin kental di
negeri ini. Sistem demokrasi ala Barat, one man one vote melalui sistem pemilihan langsung, sesungguhnya adalah penggerogotan terhadap asas Pancasila.
Alhasil,
kisah perseteruan kawan yang menjadi lawan antara Sukarno dan
Kartosoewirjo, sesungguhnya bukanlah sebuah kisah sejarah yang berdiri
sendiri, melainkan sebuah mata rantai yang bahkan masih aktual hingga
hari ini. Tidak heran jika Bung Karno dalam berbagai kesempatan
mengingatkan bangsanya untuk “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Hanya bangsa yang tidak melupakan sejarah, akan menjadi bangsa yang
kokoh. Sejarah adalah hikmah.
Bharatayudha versi Bung Karno versus Kartosoewirjo
Sesungguhnyalah,
republik ini berdiri atas sokongan berbagai aliran ideologi.
Sesungguhnyalah, aktivis-aktivis beraliran kiri, kanan, tengah, bahkan
liberal sekalipun, ikut andil dalam perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. Hingga puncak proklamasi 17 Agustus 1945,
mereka bersatu padu.
Bulir
masalah baru menampakkan diri setelah proklamasi. Aliran liberal
menghendaki Indonesia menjadi negara Uni Belanda dan menerapkan sistem
demokrasi ala Barat. Para pejuang kiri, berusaha menjadikan komunisme
menjadi ideologi negara. Sementara aktivis kanan, menghendaki lahirnya
negara Islam.
Bung
Karno? Proklamator dengan endapan banyak ideologi, mulai dari marxis,
das capital, komunis, bahkan kajian Alquran dan hadits, Injil, Weda dan
berbagai kitab lain… Bapak Bangsa yang jatuh hati terhadap kultur dan
budaya Nusantara dari Aceh hingga Papua, sama sekali tidak menghendaki
Indonesia liberal, Indonesia negara Islam, Indonesia menjadi negara
komunis, atau bentuk-bentuk negara lain.
Pancasila
adalah ideologi yang ia tawarkan. Pancasila adalah ideologi yang tumbuh
dari bumi pertiwi. Pancasila adalah hasil endapan pergulatan batin,
intelektual dan budaya luhur bangsa ini. Terlebih, manakala ia tawarkan
Pancasila pada pidato 1 Juni 1945, tidak satu pun tokoh bangsa ini yang
menolak.
Jika
kemudian Sukarno melangkah dengan panji Pancasila, itu karena ia
meyakini, Pancasila saja yang paling pas dan cocok buat bangsanya. Ia
pun mengayuh biduk Indonesia Raya ke samudera ganas. Ia dihantam ombak
komunis, ia diterjang ombak kapitalis-imperialis, ia digoncang ekstrim
kanan.
Beruntun
percobaan pembunuhan terhadap dirinya, adalah suatu konsekuensi dari
sikap yang kuat, demi tegaknya panji-panji NKRI di bawah ideologi
Pancasila. Bahkan untuk prinsipnya, ia harus berseberangan dengan dua
sahabat, Muso (kiri) dan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (kanan).
Keduanya memberontak, keduanya ingin menumbangkan Sukarno dan
pemerintahan proklamasi.
Aktivis
pro Barat yang beraliran internasionalisme, pernah mencoba-coba membuat
proklamasi tandingan di Cirebon. PKI pernah memberontak dan membentuk
pemerintahan komunis poros Soviet di Madiun tahun 1948. Tak terkecuali,
Kartosoewirjo pun memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di
Tasikmalaya pada tanggal 7 Agustus 1949.
Harus
diakui, “kawan yang menjadi lawan” paling tangguh bagi Sukarno adalah
Kartosoewirjo. Dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa
melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh,
dan Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan itu, Kartosoewirjo dengan
DI-TII-nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis
perjuangan melawan pemerintahan Sukarno.
Delapan
alinea di atas, kiranya cukup buat mengantar ke inti masalah, ke
saat-saat dimana prajurit TNI berhasil mendesak DI/TII, dan membuat
Kartosoewirjo tak berdaya saat “dijemput” di Gunung Geber, Jawa Barat
pada 4 Juni 1962. Sisa pasukan carut-marut tanpa imam besar yang sudah
tertangkap.
Ada
satu yang menarik. Sandi operasi penumpasan gerakan DI/TII oleh pasukan
TNI adalah “Bharatayudha”. Sebuah sandi yang sarat makna. Dalam epik
Mahabharata, perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok
bersaudara: Pandawa dan Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Satu
kelompok adalah putra Pandu Dewanata, sang pewaris tahta Kerajaan
Astina. Kelompok ini dinamakan Pandawa. Kelompok yang lain adalah para
putra Destarata, adik Pandu Dewanata.
Akan
halnya Bung Karno dan Kartosoewirjo. Keduanya adalah satu tumpah darah,
darah Ibu Pertiwi bernama Indonesia. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama
berguru kepada Begawan Drona, maka Bung Karno dan Kartosoewirjo pun
sama-sama pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto di Surabaya.
Konflik
bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti peperangan akbar itu.
Bagaimana ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya.
Bagaimana ketika seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya.
Wejangan-wejangan Bathara Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma
kesatria, bahkan diabadikan dalam Kitab Bhagawad Gita.
Tak
terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri,
saudara seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab,
pengadilan memang memutuskan hukuman mati baginya. Bung Karno selaku
Presiden harus menandatangani berkas vonis mati bagi kawannya.
Di
sinilah batinnya berperang. Sejak ditangkap hingga tiga bulan kemudian,
Bung Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri
Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus
ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali
berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya. Begitu
berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno begitu frustrasi dan ia
lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.
Adalah
Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung.
Kepada sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia
menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati. Mega pula yang
menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara,
kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat
persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara.
September
1962, terpekur lama Bung Karno di meja kerjanya. Ia melambungkan memori
masa muda di Surabaya, saat berasyik-ceria menebar canda bersama
Kartosoewirjo. Ia mengingat hari-hari pergerakan menentang penjajahan
Belanda maupun Jepang bersama-sama. Ia terngiang diskusi-diskusi
politik, agama, kebangsaan dan apa saja yang begitu hangat.
Hari
itu, ia harus menggoreskan tanda tangan di atas berkas vonis. Coretan
tanda tangannya, sama arti dengan akhir dari kehidupan Kartosoewirjo. Ia
pandangi kembali selembar foto Kartosoewirjo. Ia tatap berlama-lama,
sambil berlinangan air mata. Dan benar adanya, ketika ia menerima
laporan ihwal tertangkapnya Kartosoewirjo beberapa bulan sebelumnya,
satu pertanyaan Bung Karno adalah, “Bagaimana matanya?”
Ketika
tidak ada satu pun yang bisa menjawab, maka keesokan harinya, petugas
menyodorkan foto Kartosoewirjo. Demi melihat foto sahabat yang
memusuhinya, Bung Karno tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih
tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot
mata seorang pejuang.”
Tegar
hatinya untuk menandatangani berkas vonis mati bagi rekannya. Ikatan
batin keduanya, kedalaman spiritual keduanya, bahkan abadi hingga hari
ini.
Bung Karno dan Kartosoewirjo, Saling Ejek,
dan saling bunuh
Jika
panggung sejarah hanya berisi dua tokoh: Bung Karno dan Kartosoewirjo,
maka yang terjadi adalah sebuah drama tragedi kehidupan yang sangat
dramatis. Bahkan, hampir bisa dipastikan, jauh lebih mencekam dibanding
lakon “Lawan Catur”, sebuah naskah drama karya Kenneth Arthur (Kenneth
Sawyer Goodman) yang diterjemahkan dengan apik oleh almarhum Rendra.
Lakon
“Lawan Catur”, hanya menyuguhkan tokoh Samuel dan Antonio. Keduanya
terlibat permainan catur yang penuh trik, penuh strategi, penuh konflik,
dan… secara keseluruhan begitu memukau, mencekam, dan pada akhirnya
menghibur. Sedangkan tokoh Oscar dan Verka lebih sebagai pemain figuran.
Repertoar itu begitu memukau di tangan sutradara handal seperti Rendra.
Tak
ubahnya Bung Karno dan Kartosuwirjo. Sejak tahun 1918 keduanya terlibat
jalinan pertemanan yang kental di rumah HOS Cokroaminoto, Surabaya.
Mereka bahu-membahu berjuang demi kejayaan negeri bersama Cokro. Akan
tetapi, di bagian akhir, keduanya terlibat perbedaan paham yang keras.
Bung Karno yang nasionalis berselubungkan Pancasila. Karwosoewirjo
bergaris Islam ekstrim, dan menghendaki Indonesia menjadi negara Islam.
Dengan sutradara Tuhan Yang Maha Agung, “drama” keduanya benar-benar
mencekam, dengan ending yang tragis.
Melayang
ke tahun 1918, 1919 … dan masa-masa di sekitar itu, Bung Karno dan
Kartosoewirjo benar-benar berkarib. Di luar konteks kebangsaan, mereka
bergaul layaknya anak muda pada zamannya. Termasuk, saling ledek, saling
ejek, dan saling lempar canda dan tawa.
Ingat
kebiasaan Bung Karno berpidato di depan kaca di dalam kamar yang pengap
dan gelap? Ya, di satu kamar paling ujung, satu-satunya kamar tak
berjendela sehingga siang-malam Bung Karno harus menyalakan pelita, Bung
Karno acap berpidato berapi-api. Dari luar kamar, teriakan-teriakan
Bung Karno membahana. Sekali-dua, rekan-rekan satu pemondokan
menegurnya. Akan tetapi, ketika Bung Karno tidak juga menghentikan
kebiasaannya berpidato di depan cermin… mereka pun mengabaikan.
Nah,
salah satu penghuni rumah yang tak bosan berkomentar atas ulah Bung
Karno hanyalah Kartosoewirjo. “Hei Karno… buat apa berpidato di depan
kaca… seperti orang gila saja….” Kartosoewirjo tak bosan mengejek dan
melempar ledekan kepada Bung Karno? Atas itu semua, Bung Karno tak
menggubris. Ia melanjutkan orasinya, meski hanya didengar tembok dan
sekawanan cicak, nyamuk, dan keremangan suasana.
Usai
berpidato, barulah Bung Karno membalas ledekan Kartosoewirjo.
Pertama-tama, Bung Karno akan mengatakan apa yang ia lakukan adalah
salah satu persiapan menjadi orang besar…. Jika Kartosoewirjo meladeni,
maka aksi saling ledek pun berlanjut. Ibarat “lawan catur” langkah
skakmat Bung Karno untuk membungkam ejekan Kartosoewirjo adalah kalimat
menusuk seperti ini, “… tidak seperti kamu…. udah kurus, kecil, pendek,
keriting… mana bisa jadi orang besar!”
Lakon
terus bergulir. Keduanya terus memperjuangkan ideologinya. Keduanya
bertujuan memberi yang terbaik buat bangsanya. Sampailah Bung Karno pada
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama. Sedangkan Kartosoewirjo, meski pernah direkrut
Bung Karno sebagai Wakil Menteri Pertahanan, tetapi ideologi garis kanan
tak luntur.
Alih-alih
menopang republik yang baru seumur jagung, Kartosoewirjo nyempal dan
mendirikan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII). Bahkan tahun
1948, Kartosoewirjo memakulmatkan perang kepada Bung Karno (pemerintah
yang sah). Lalu dua tahun kemudian, 1950, ia menyalakkan api perang
dengan statemennya, “Bunuh Sukarno. Dialah penghalang pembentukan Negara
Islam.”
Sejak
itu, sejumlah usaha pembunuhan terhadap Bung Karno pun dilakukan oleh
para teroris anak buah Kartosoewirjo. Peristiwa penggranatan Cikini 30
November 1957 adalah salah satu saja dari sekian banyak rentetan
percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno oleh anak buah Kartosoewirjo.
Masih ada peristiwa lain seperti penembakan Istana oleh Maukar. Kemudian
penembakan waktu Bung Karno sedang shalat Idul Adha di masjid Istana,
dan lain-lain upaya yang semuanya gagal.
Sebaliknya,
TNI berhasil mendesak DI/NII, menangkap gembong Kartosoewirjo… dan ia
pun dihukum mati. Akan tetapi, sebelum Bung Karno menandatangani surat
persetujuan eksekusi mati, juga tersimpan kisah menarik yang sungguh
mengharukan. Bagaimana kisahnya?
0 komentar:
Posting Komentar